Day 4.
Kyoto. Arashiyama dan sekitarnya.
Murah di sini jangan disamakan dengan murahnya Jakarta ya. Misalnya:
dengan kualitas kain nomor satu, harganya mirip dengan kain kualitas medium di
Pasar Baru atau Mayestik. Tapi yang terpenting motif – motif kain Jepang di
sana nggak ada duanya dan nggak bisa ditemui di Jakarta. Karena nggak mau
gegabah, saya memutuskan tidak membeli apa – apa (dulu) di sana. Hal lain yang saya suka, mereka menjual kain dalam potongan - potongan kecil, misalnya 50x50cm atau 75x75cm. Buat orang yang suka craft menguntungkan banget, nggak harus beli bahan kebanyakan.
Tapi seramai – ramainya
tempat wisata di Jepang, segala sesuatu tetap teratur dan nyaman. Fushimi
Inari-Taisha didedikasikan untuk dewa beras (God of Rice). Kuil ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan populer di antara pedangang dan pebisnis. Torii atau pilar – pilar oranye merupakan donasi dari para pebisnis
sebagai ungkapan syukur kepada sang dewa. Kuil ini terpecah di beberapa lokasi.
Salah satunya di atas gunung melewati jalan setapak.
Sisa hari kami habiskan dengan berjalan kaki menyusuri downtown Kyoto. Masuk ke Tokyu Hands kemudian mupeng berat karena barang – barangnya bagus. Lalu nemu toko Flying Tiger yang ternyata merk dari Denmark. Lucu – lucu dan murah. Kami membeli oleh – oleh buat para keponakan di toko ini.
Amazed lihat kayu - kayu penyangga kuil. Bayangkan jaman dulu mereka membuat semua itu tanpa bantuan alat - alat canggih seperti sekarang. Di jalan menuju Kiyomizu-dera, tanpa sengaja kami melewati toko merchandise Ghibli. Pengen kalap tapi bikin miskin dan koper mulai penuh. Akhirnya kami membeli beberapa poster kain dan kartu pos yang mudah dijejalkan di tas.
Niat jalan
ke Arashiyama pagi – pagi gagal! Apartemennya terlalu nyaman, bangunnya kesiangan.
Pasrah aja deh nggak dapet foto Arashiyama yang bagus. Kami sampai di sana
jam10 dan orang – orang udah rame banget. Semuanya mau foto di hutan bambu.
Jadilah jalan tersendat – sendat nungguin orang lagi foto sepanjang hutan.
Belum lagi ada pemotretan. Tapi, overall, worth it karena tempatnya indah.
Pemberhentian
ke-dua kami adalah Villa Okochi-Sanso. Villa dan taman ini milik aktor Jepang
terkenal Okochi Denjiro (1896 – 1962) tak jauh dari hutan bambu. Villa dan taman Okochi-Sanso sekarang masuk dalam list heritage UNESCO. Foto di bawah adalah bagian depan villa yang menghadap kota dan sungai.
Villa Okochi-Sanso.
Di depan
menghadap sungai, di belakang menghadap gunung. Zen-nya luar biasa. Saya berpikir Okochi-Sanso pasti tampak
lebih indah pada musim gugur. Pohon - pohon yang berbeda akan berubah daunnya dengan warna yang berbeda pula.
Pemandangan dari "bale bengong" bukit Okochi-Sanso.
Saya yakin taman ini lebih indah di musim gugur.
Mengelilingi villa dan taman membutuhkan waktu setidaknya 30 - 40 menit karena luas. Belum lagi jika kita duduk di titik - titik tertentu sambil menikmati pemandangan. Sehabis
dari tempat ini kami kelaparan! Kami kembali ke jalan utama kemudian mengikuti sungai yang bisa ditelusuri dengan pedestrian zone di sampingnya. Sampailah kami di restaurant udon. Setelah makan siang, kami berjalan ke arah stasiun sambil melihat - lihat toko suvenir. Menurut saya, Jepang itu salah satu negara yang menjual makanan dan produk dalam kemasan unik, sehingga toko - toko suvenir selalu menarik untuk disinggahi walaupun tidak membeli apa - apa. Membeli es krim matcha lebih menarik buat saya.
Kami kembali ke arah kota dengan kereta menuju Kyoto Imperial Palace. Udah jalan jauh ke dalam, ternyata kami nggak boleh masuk! Dari awal emang kurang niat ke sini sih, jadi nggak explore informasi lebih banyak. Untuk tour Kyoto Imperial Palace harus daftar dulu paling lambat satu hari sebelumnya karena dibatasi dan harus tercatat. It’s okay. Kami duduk – duduk di hutan sekitar palace yang adem.
Next, Nishiki Market. Di sinilah hidup mulai rumit! Pasarnya bersih, rapi, semua ada, dan bisa nemu barang – barang berkualitas baik dengan harga rata – rata. Yang paling bikin ruwet, saya nemu toko craft super lengkap dan harganya murah.
Kami kembali ke arah kota dengan kereta menuju Kyoto Imperial Palace. Udah jalan jauh ke dalam, ternyata kami nggak boleh masuk! Dari awal emang kurang niat ke sini sih, jadi nggak explore informasi lebih banyak. Untuk tour Kyoto Imperial Palace harus daftar dulu paling lambat satu hari sebelumnya karena dibatasi dan harus tercatat. It’s okay. Kami duduk – duduk di hutan sekitar palace yang adem.
Next, Nishiki Market. Di sinilah hidup mulai rumit! Pasarnya bersih, rapi, semua ada, dan bisa nemu barang – barang berkualitas baik dengan harga rata – rata. Yang paling bikin ruwet, saya nemu toko craft super lengkap dan harganya murah.
Kain katun dan linen berbagai ukuran.
Day 5.
Fushimi Inari-Taisha. Oranye dan downtown Kyoto!
Pertama kali “ngeh” kalau kuil ini ada waktu nonton Memoirs of Geisha jaman kuliah dulu. Adegan pertamanya Chiyo kecil berlari di sepanjang pilar – pilar oranye. Sebagai spot wajib kunjung turis, tempat ini juga nggak kalah ramai dari Arashiyama Bamboo Forest.
Pertama kali “ngeh” kalau kuil ini ada waktu nonton Memoirs of Geisha jaman kuliah dulu. Adegan pertamanya Chiyo kecil berlari di sepanjang pilar – pilar oranye. Sebagai spot wajib kunjung turis, tempat ini juga nggak kalah ramai dari Arashiyama Bamboo Forest.
Turun stasiun langsung disambut gerbang oranye.
Torii.
Wishing pieces bermuka rubah (kitsune) karena rubah adalah penjaga kuil ini.
Lihat bagaimana orang di sana kreatif dalam menggambar kayu untuk menulis harapan. Sehabis
dari Fushimi Inari-Taisha kami pulang ke apartemen untuk istirahat. Agak sore
baru kami keluar lagi menuju downtown
Kyoto lewat Shijo Street. Kali ini kami naik bis. Santai rasanya naik bis dibandingkan kereta
dengan stasiun yang selalu crowded. Downtown Kyoto sungguh menyenangkan.
Jalanan panjang, pedestrian zone yang
lebar sehingga orang bisa jalan kaki dengan nyaman, kanan kiri pertokoan. Toko
– tokonya juga menarik seperti Tokyu Hands dan Flying Tiger.
Downtown Kyoto.
Tapi
sebelum menelusuri downtown Kyoto:
sushi time! Karena lagi hamil dan nggak boleh makan yang mentah, moment makan sushi di Kyoto ini jadi
syahdu banget buat saya karena sushi di Kyoto berbeda dengan sushi yang biasa
dijual di Jakarta (edo-style). Di Kyoto tidak ada yang mentah, walaupun rasanya
tetap mentah (eh gimana?!) Kyoto terletak jauh dari laut. Sehingga mereka harus
pandai menyimpan ikan yang mereka punya. Salah satunya dengan cara dibuat acar.
Jadi meskipun sudah ada proses diberi cuka dan disimpan, rasanya tetap tidak
matang. Kyoto-style sushi lebih besar ukurannya dan dimakan tanpa soyu sauce.
Rasanya? Juara! Saya makan di Izuju. Tepat berada di pojokan downtown Kyoto. Restaurantnya sendiri
sudah dikelola selama tiga generasi atau 100 tahun lebih.
Puas makan
sushi, kami jalan kaki dan mampir ke Gion, yaitu distrik Geisha yang paling
terkenal. Berasa masuk ke mesin waktu deh. Sepanjang jalan bangunan tua dari
kayu. Melihat pekerja restaurant naik sepeda pakai baju tradisional sambil
memanggul boks kayu berisi ikan dengan satu tangan di pundak. Sayangnya karena temaram,
sulit mengambil foto.
Gion District.
Sisa hari kami habiskan dengan berjalan kaki menyusuri downtown Kyoto. Masuk ke Tokyu Hands kemudian mupeng berat karena barang – barangnya bagus. Lalu nemu toko Flying Tiger yang ternyata merk dari Denmark. Lucu – lucu dan murah. Kami membeli oleh – oleh buat para keponakan di toko ini.
Day 6. Kyoto.
Ramen ayam juara!
Hari ini kami bermalas – malasan di apartemen. Bangun siang. Suami nyuci baju. Saya leyeh leyeh. Kami baru keluar selepas makan siang dan kembali ke Nishiki Market nyahahaha. Kali ini saya beli beberapa potong kain dan benang rajut. Suami nemu cargo pants dan tas tentara murah yang bagus. Kali ini kami masuk Nishiki market dari sisi pasar yang menjual makanan. Seru abis! Ragam, warna dan jenis makanan di sana sangat instagram-able. Halah.
Selain itu, selaku fans garis keras koyo Jepang, saya memborong koyo buat oleh – oleh sekaligus buat saya sendiri yang kayaknya cukup untuk persediaan 3 tahun. Dulu saya pernah dibelikan seorang teman koyo dari Jepang dan cocok! Setelah pakai koyo Jepang, saya malas pake koyo yang dijual di Indonesia. Koyo Jepang itu lembut, lengket di kulit tapi tidak sakit ketika ditarik, tidak membuat panas tapi efektif. Untung saya masih ingat warna dan gambar koyo tersebut. Tidak butuh waktu lama buat saya menemukannya di apotek. Sementara suami mau beli obat sakit kepala bingung. Tulisannya huruf kanji semua. Orang Jepang ditanya pake Bahasa Inggris nggak ngerti.
Belum sah ke Jepang kalau belum makan ramen. Sebenarnya pilihan ramen banyak banget, di pinggir – pinggir jalan juga ada dan ramai (pertanda enak) tapi hampir semua non-halal. Hasil temuan browsing – browsing merekomendasikan kami ke sebuah chicken ramen di daerah Shimogyo-ku.
Hari ini kami bermalas – malasan di apartemen. Bangun siang. Suami nyuci baju. Saya leyeh leyeh. Kami baru keluar selepas makan siang dan kembali ke Nishiki Market nyahahaha. Kali ini saya beli beberapa potong kain dan benang rajut. Suami nemu cargo pants dan tas tentara murah yang bagus. Kali ini kami masuk Nishiki market dari sisi pasar yang menjual makanan. Seru abis! Ragam, warna dan jenis makanan di sana sangat instagram-able. Halah.
Kalau udah sampai Nishiki, jangan lewatkan strolling bagian ini! Sumber foto: www.japanguide.com
Kira - kira begini contoh makanan "lucu" yang dijual. Dare to try? Sumber foto: eatdrinktravelrepeat.com
Selain itu, selaku fans garis keras koyo Jepang, saya memborong koyo buat oleh – oleh sekaligus buat saya sendiri yang kayaknya cukup untuk persediaan 3 tahun. Dulu saya pernah dibelikan seorang teman koyo dari Jepang dan cocok! Setelah pakai koyo Jepang, saya malas pake koyo yang dijual di Indonesia. Koyo Jepang itu lembut, lengket di kulit tapi tidak sakit ketika ditarik, tidak membuat panas tapi efektif. Untung saya masih ingat warna dan gambar koyo tersebut. Tidak butuh waktu lama buat saya menemukannya di apotek. Sementara suami mau beli obat sakit kepala bingung. Tulisannya huruf kanji semua. Orang Jepang ditanya pake Bahasa Inggris nggak ngerti.
Belum sah ke Jepang kalau belum makan ramen. Sebenarnya pilihan ramen banyak banget, di pinggir – pinggir jalan juga ada dan ramai (pertanda enak) tapi hampir semua non-halal. Hasil temuan browsing – browsing merekomendasikan kami ke sebuah chicken ramen di daerah Shimogyo-ku.
Chicken ramen dan chicken dumpling. Delish!
Letaknya di dalam gang. Rasanya superb! Mereka memang hanya menjual ramen ayam. Ramen terenak yang
pernah kami makan.
Day 7.
Kyoto. Kiyomizu-dera dan Shinkansen.
Hari terakhir kami di Kyoto sebelum melanjutkan liburan ke Tokyo. Kami mengunjungi salah satu kuil terbesar di Kyoto: Kiyomizu-dera. Karena letaknya yang tinggi, kota Kyoto bisa terlihat dari kuil. Pengunjung hari itu ramai termasuk anak – anak sekolah.
Hari terakhir kami di Kyoto sebelum melanjutkan liburan ke Tokyo. Kami mengunjungi salah satu kuil terbesar di Kyoto: Kiyomizu-dera. Karena letaknya yang tinggi, kota Kyoto bisa terlihat dari kuil. Pengunjung hari itu ramai termasuk anak – anak sekolah.
Kota Kyoto dari atas.
Berbaris tertib.
Bagian bawah kuil.
Amazed lihat kayu - kayu penyangga kuil. Bayangkan jaman dulu mereka membuat semua itu tanpa bantuan alat - alat canggih seperti sekarang. Di jalan menuju Kiyomizu-dera, tanpa sengaja kami melewati toko merchandise Ghibli. Pengen kalap tapi bikin miskin dan koper mulai penuh. Akhirnya kami membeli beberapa poster kain dan kartu pos yang mudah dijejalkan di tas.
Die hard fans :P
Gerimis
turun. Kami tidak berlama – lama di sana. Setelah mengambil foto di kuil, kami
naik bis kembali ke apartemen untuk mengambil koper dan tas. Sambil menunggu
kereta Shinkansen jurusan Tokyo datang, kami makan siang dulu di Katsukura,
Stasiun Kyoto JR. Selama di
Kyoto, Katsukura jadi restaurant favorit saya. Kami makan dua kali di dua hari
yang berbeda. Menu-nya sederhana: tempura + nasi + miso soup + kol iris. Tapi
rasanya enak banget! Nasi (barley rice),
miso soup dan kol boleh tambah sesuka hati. Bahkan, suami saya yang biasanya
kurang semangat ketemu miso soup, di Katsukura bisa makan 3 mangkok. Kenyang!
Senang!
Katsukura! Kapan buka di Jakarta ya?
Next, Shinkansen! Ke Jepang belum sah (juga)
kalau belum naik kereta super cepat ini. Dari Kyoto ke Tokyo hanya memakan
waktu 2 jam 40 menit. Jika naik kereta biasa dengan rute yang sama lamanya 9
jam. Walaupun kami menggunakan JR tickets, kami tidak bisa naik Shinkansen yang paling cepat (2 jam 20 menit). JR tickets hanya me-cover Shinkansen di bawah kecepatan itu. Secara fasilitas gerbong, tidak ada yang istimewa dari Shinkansen. Keunggulannya hanya
efisien waktu.
No comments:
Post a Comment